Regulasi Pembatasan Penggunaan Plastik Sekali Pakai di Bali, apakah efektif?
- arianiedian
- Mar 9, 2019
- 3 min read
Updated: Mar 12, 2019
Seperti mungkin sebagian besar dari kita sudah mendengar bahwa Gubernur Bali saat ini melalui Pergub No. 97 Tahun 2018 mulai mengatur peredaran plastik sekali pakai di Pulau Dewata. Hal ini menjadi bukti bahwa pemerintah provinsi Bali mulai concern dengan sampah plastik (sekali pakai) yang kian hari kian menggunung dan menjadi ancaman besar bagi pariwisata Bali. Bagaimana tidak? Coba kita bayangkan, kita sudah jauh-jauh hari mempersiapkan liburan kita di pulau seribu pura tersebut; pemandangan akan keindahan pantai dan laut nan biru sudah mondar mandir di pikiran kita, tapi ternyata, begitu kita sampai di sana, yang kita temukan bukan hanya hamparan pasir putih tapi juga tumpukan sampah di sana sini yang terbawa ombak, terlebih di musim penghujan seperti sekarang ini. Jangankan untuk berenang menikmati deburan ombaknya, untuk hanya sekedar duduk-duduk di pantainya saja mungkin kita enggan dengan kondisi yang seperti itu, dengan pemandangan yang malah menyakitkan mata.


Bahkan di internet pun dengan mudah dapat kita temukan foto-foto dokumentasi yang menggambarkan bagaimana sampah-sampah plastik ini benar-benar sudah menjadi masalah.
Lalu, apakah dengan diberlakukannya Pergub No. 97 Tahun 2018, masalah timbunan sampah plastik sekali pakai (PSP) di Bali akan teratasi? Ada 3 jenis sampah yang sifatnya sekali pakai yang dibatasi penggunaannya di dalam Pergub ini, yaitu kantong plastik, polysterina (styrofoam) dan sedotan plastik. Aturan ini mewajibkan setiap orang dan lembaga baik pemasok, distributor, produsen, penjual menyediakan pengganti atau substitusi PSP. Juga melarang peredaran, distribusi, dan penyediaan PSP baik oleh masyarakat, pelaku usaha, desa adat, dan lainnya.
Guna mengawasi Pergub ini, pada Pasal 18 disebutkan Gubernur membentuk Tim Monitoring dan Evaluasi pelaksanaan Pembatasan Timbulan Sampah PSP. Dan setiap orang, produsen, distributor, pemasok, pelaku usaha dan penyedia PSP yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7 dan Pasal 9 ayat (1) dikenakan sanksi administratif. Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) Kota Denpasar akan melakukan pengawasan dalam pengurangan penggunaan kantong plastik dengan dibentuk tim yang terdiri dari unsur Perangkat Daerah. Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada Pasal 5 dikenakan sanksi administratif seperti peninjauan kembali ijin usahanya.

Untuk mengatasi suatu masalah tentunya perlu diurai terlebih dahulu di mana akar masalahnya berada. Sebagai penduduk asli di negara ini, kita pasti tahu bagaimana habit masyarakat kita. Toko-toko dan pelaku bisnis modern di Indonesia, sama seperti di Bali mungkin kalau dijumlahkan hasilnya tidak seberapa dibandingkan dengan jumlah toko-toko dan pedagang yang jauh lebih kecil atau tradisional. Jika kita menengok sekeliling kita, berapa banyak warung-warung kecil atau pedangan kaki lima yang ada? Banyak sekali. Dalam radius beberapa meter saja mungkin ada puluhan. Kita semua tahu bahwa pedagang-pedagang ini menggunakan plastik sekali pakai seperti yang dilarang penggunaannya di dalam Pergub. Kalau ada 2 saja pedagang jenis ini dalam radius 200 meter dan sehari mereka paling sedikit dapat 10 pembeli, bayangkan berapa banyak sudah plastik sekali pakai yang digunakan? Bayangkan juga jika mereka ini adalah penjaja jajanan yang biasa mangkal di depan sekolah-sekolah. Dalam sehari ada berapa banyak pembelinya? Dan apakah mereka ini masing-masing memiliki ijin usaha seperti toko-toko modern dan pedagang menengah ke atas? Jika tidak, bagaimana pemerintah dapat memonitor penerapan aturannya di pedagang-pedagang tidak berijin ini yang kebanyakan sifatnya berpindah-pindah?
Jadi ketika Pergub No. 97 Tahun 2018 terfokus penerapannya hanya toko-toko modern atau pedagang-pedagang berskala menengah ke atas, saya kok pesimis peraturan ini akan bisa mengatasi masalah sampah plastik sekali pakai di Bali. Mungkin di negara maju, di mana sulit kita temukan pedagang kaki lima yang menjamur, peraturan seperti ini bisa lumayan efektif, tapi saya ragu dengan di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Namun bagaimana juga saya sangat mengapresiasi effort pemerintah daerah Bali yang mulai memperhatikan masalah sampah plastik sekali pakai ini yang mulai mengancam baik industri pariwisata Bali maupun keberlangsungan ekosistemnya. Saya hanya berharap kedepannya pemerintah daerah, tidak hanya Bali, dan nasional bisa mengeluarkan peraturan yang lebih mengena pada akar masalahnya, yang diiringi dengan edukasi ke semua lapisan masyarakat, mulai dari sekolah-sekolah dasar, mengenai bahayanya sampah plastik ini untuk lingkungan kita dan bagaimana kita bisa berkontribusi untuk bisa menguranginya dan mulai menyelamatkan bumi kita.
Comments